Memaparkan catatan dengan label Tokoh Sufi. Papar semua catatan
Memaparkan catatan dengan label Tokoh Sufi. Papar semua catatan

Rabu, 3 Jun 2009

Abu Yazid Al Busthami

Setelah menatap Allah aku memandang diriku sendiri dan merenungi rahsia serta hakikat diri ini. Cahaya diriku adalah kegelapan jika dibandingkan dengan Cahaya-Nya, kebesaran diriku sangat kecil jika dibandingkan dengan kebesaran-Nya, kemuliaan diriku hanyalah kesombongan yang sia-sia jika dibandingkan dengan kemuliaan-Nya. Di dalam Allah segalanya suci sedang didalam diriku segalanya kotor dan tercemar.

Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami, lahir di Bustham terletak di bahagian timur Laut Persi. Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau merupakan salah seorang Sultan Aulia, yang juga sebagai salah satu Syeikh yang ada dalam silasilah dalam thoriqoh Sadziliyah dan beberapa thoriqoh yang lain. Abang Abu Yazid merupakan penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah salah satu di antara orang-orang terkemuka di Bustham. Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia masih berada dalam kandungan. “Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya”, ibunya sering berkata pada Abu Yazid, “engkau yang masih berada didalam rahimku memberontak dan tidak mahu berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali”. Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri. Setelah sampai waktunya, si ibu mengirim Abu Yazid ke sekolah untuk mempelajari Al Qur-an. Pada suatu hari gurunya menerangkan erti satu ayat dari surat Luqman yang berbunyi, “Berterima kasihlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid, ia lalu meletakkan batu tulisnya dan berkata kepada gurunya, “izinkanlah aku pulang, ada yang hendak kukatakan pada ibuku”. Si guru memberi izin, Abu Yazid lalu pulang kerumah. Ibunya menyambut dengan kata-kata,”Thoifur, mengapa engkau sudah pulang ? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah sesuatu kejadian istimewa ?”. “Tidak” jawab Abu Yazid, “Pelajaranku sampai pada ayat dimana Allah
memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan kepada engkau wahai ibu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua rumah dalam waktu yang bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Maka wahai ibu, mintalah diriku ini kepada Allah sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Allah semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata”. “Anakku” jawab ibunya, “aku serahkan engkau kepada Allah dan kubebaskan engkau dari semua kewajibanmu terhadapku. Pergilah engkau menjadi hamba Allah. Di kemudian hari Abu Yazid berkata, “Kewajiban yang semula kukira sebagai kewajiban yang paling ringan, ternyata merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam berbakti kepada ibuku, itulah kuperoleh segala sesuatu yang kucari, yakni segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan pengabdian kepada Allah. Kejadiannya adalah sebagai berikut : Pada suatu malam, ibu meminta air kepadaku. Maka akupun mengambilnya, ternyata didalam tempayan kami tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itupun kosong. Oleh kerana itu, aku pergi kesungai lalu mengisi kendi tersebut dengan air. Ketika aku pulang, ternyata ibuku sudah tertidur”. Malam itu udara terasa dingin. Kendi itu tetap dalam rangkulanku. Ketika ibu terjaga, ia meminum air yang kubawa kemudian mendoakanku. Waktu itu terlihatlah olehku betapa kendi itu telah membuat tanganku kaku. “Mengapa engkau tetap memegang kendi itu ?” ibuku bertanya. “Aku takut ibu terjaga sedang aku sendiri terlena”, jawabku. Kemudian ibu berkata kepadaku, “Biarkan saja pintu itu setengah terbuka”. Sepanjang malam aku berjaga-jaga agar pintu itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan agar aku tidak melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya fajar terlihat lewat pintu, begitulah yang sering kulakukan berkali-kali”. Abu Zayid melakukan disiplin diri dengan terus menerus dan berpuasa di siang hari dan bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan seratus tiga belas guru spiritual dan telah memperoleh manfaat dari setiap pelajaran yang mereka berikan.


Diantara guru-gurunya itu ada seorang yang bernama Shadiq. Ketika Abu Yazid sedang duduk dihadapannya, tiba-tiba Shadiq berkata kepadanya,”Abu Yazid, ambilkan buku yang di jendela itu”.”Jendela? Jendela yang mana?”, tanya Abu Yazid.”Telah sekian lama engkau belajar di sini dan tidak pernah melihat jendela itu?”"Tidak”, jawab Abu Yazid, “apakah peduliku dengan jendela. Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak datang kesini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini”.”Jika demikian”, kata si guru,” kembalilah ke Bustham. Pelajaranmu telah selesai”.

Abu Yazid mendengar bahawa di suatu tempat ada seorang guru besar. Dari jauh Abu Yazid datang untuk menemuinya. Ketika sudah dekat, Abu Yazid menyaksikan betapa guru yang termasyhur itu meludah ke arah kota Makkah (diertikan menghina kota Makkah), kerana itu segera ia memutar langkahnya.”Jika ia memang telah memperoleh semua kemajuan itu dari jalan Allah”, Abu Yazid berkata mengenai guru tadi,”niscaya ia tidak akan melanggar hukum seperti yang dilakukannya”. Diriwayatkan bahwa rumah Abu Yazid hanya berjarak empat puluh langkah dari sebuah masjid, ia tidak pernah meludah ke arah jalan dan menghormati masjid itu. Setiap kali Abu Yazid tiba di depan sebuah masjid, beberapa saat lamanya ia akan berdiri terpaku dan menangis.”Mengapa engkau selalu berlaku demikian ?” tanya salah seseorang kepadanya. “Aku merasa diriku sebagai seorang wanita yang sedang haid. Aku merasa malu untuk masuk dan mengotori masjid”, jawabnya. (Lihatlah do’a Nabi Adam atau do’a Nabi Yunus a.s “Laa ilaha ila anta Subhanaka inni kuntum minadholimin”, Tidak ada tuhan melainkan engkau ya Allah, sesungguhnya aku ini termasuk orang-orang yang zalim. Atau lihat doa Abunawas,’Ya Allah kalau Engkau masukkan aku ke dalam syurga, rasanya tidaklah pantas aku berada di dalamnya. Tetapi kalau aku Engkau masukkan ke dalam neraka, aku tidak akan tahan, aku tidak akan kuat ya Allah, maka terimalah saja taubatku’.

Suatu ketika Abu Yazid di dalam perjalanan, ia membawa seekor unta sebagai tunggangan dan pemikul perbekalannya.”Binatang yang malang, betapa berat beban yang engkau tanggung. Sungguh kejam!”, seseorang berseru. Setelah beberapa kali mendengar seruan ini, akhirnya Abu Yazid menjawab, “Wahai anak muda, sebenarnya bukan unta ini yang memikul beban”. Kemudian si pemuda meneliti apakah beban itu benar-benar berada diatas punggung unta tersebut. Barulah ia percaya setelah melihat beban itu mengambang satu jengkal di atas punggung unta dan binatang itu sedikitpun tidak memikul beban tersebut. “Maha besar Allah, benar-benar menakjubkan!”, seru si pemuda.”Jika kusembunyikan kenyataan yang sebenarnya mengenai diriku, engkau akan melontarkan celaan kepadaku”, kata Abu Yazid kepadanya. “Tetapi jika kujelaskan kenyataan itu kepadamu, engkau tidak dapat memahaminya. Bagaimana seharusnya sikapku kepadamu?”

MI’ROJ Abu Yazid berkisah, “Dengan tatapan yang pasti aku memandang Allah setelah Dia membebaskan diriku dari semua makhluk-Nya, menerangi diriku dengan Cahaya-Nya, membukakan keajaiban-keajaiban rahsia-Nya dan menunjukkan kebesaran-Nya kepadaku. Setelah menatap Allah aku pun memandang diriku sendiri dan merenungi rahsia serta hakekat diri ini. Cahaya diriku adalah kegelapan jika dibandingkan dengan Cahaya-Nya, kebesaran diriku sangat kecil jika dibandingkan dengan kebesaran-Nya, kemuliaan diriku hanyalah kesombongan yang sia-sia jika dibandingkan dengan kemuliaan-Nya. Di dalam Allah segalanya suci sedang didalam diriku segalanya kotor dan cemar. Bila kurenungi kembali, maka tahulah aku bahwa aku hidup kerana cahaya Allah. Aku menyadari kemuliaan diriku bersumber dari kemuliaan dan kebesaran-Nya. Apapun yang telah kulakukan, hanya kerana kemaha kuasaan-Nya. Apapun yang telah terlihat oleh mata lahirku, sebenarnya melalui Dia. Aku memandang dengan mata keadilan dan realiti. Segala kebaktianku bersumber dari Allah, bukan dari diriku sendiri, sedang selama ini aku beranggapan bahawa akulah yang berbakti kepada-Nya. Hiasilah diriku dengan ke-Esaan-Mu, sehingga apabila hamba-hamba-Mu memandangku yang terpandang oleh mereka adalah ciptaan-Mu. Dan mereka akan melihat Sang Pencipta mata, bukan diriku ini”. Keinginanku ini dikabulkan-Nya. Ditaruh-Nya mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan Ia membantuku mengalahkan jasmaniku. Setelah itu, Dia berkata, “temuilah hamba-hamba-Ku itu”. Maka kulanjutkan pula pengembaraan yang tak berkesudahan di lautan tanpa tepi itu untuk beberapa lama, aku katakan, “Tidak ada seorang manusia pun yang pernah mencapai kemuliaan yang lebih tinggi daripada yang telah kucapai ini. Tidak mungkin ada tingkatan yang lebih tinggi daripada ini”. Tetapi ketika kutajamkan pandangan ternyata kepalaku masih berada di telapak kaki seorang Nabi.

Maka sedarlah aku, bahawa tingkat terakhir yang dapat dicapai oleh manusia-manusia suci hanyalah sebagai tingkatan awal dari kenabian. Mengenai tingkat terakhir dari kenabian tidak dapat kubayangkan. Kemudian Rohku menembus segala penjuru di dalam kerajaan Allah. Syurga dan neraka ditunjukkan kepada rohku itu tetapi ia tidak peduli. Apakah yang dapat menghadang dan membuatnya peduli ?. Semua sukma yang bukan Nabi yang ditemuinya tidak dipedulikannya. Ketika ruhku mencapai sukma manusia kesayangan Allah, Nabi Muhammad SAW, terlihatlah olehku seratus ribu lautan api yang tiada bertepi dan seribu tirai cahaya. Seandainya kujejakkan kaki ke dalam lautan api yang pertama itu, niscaya aku hangus binasa. Aku sedemikian gentar dan bingung sehinga aku menjadi sirna. Tetapi betapa pun besar keinginanku, aku tidak berani memandang tiang perkemahan Muhammad Rasulullah Saw. Walaupun aku telah berjumpa dengan Allah, tetapi aku tidak berani berjumpa dengan Muhammad Rasulullah Saw. Kemudian Abu Yazid berkata, “Ya Allah, segala sesuatu yang telah terlihat olehku adalah aku sendiri. Bagiku tiada jalan yang menuju kepada-Mu selama aku ini masih ada. Aku tidak dapat menembus keakuan ini, apakah yang harus kulakukan?” Maka terdengarlah perintah, “Untuk melepas keakuanmu itu ikutilah kekasih Kami, Muhammad Saw. Usaplah matamu dengan debu kakinya dan ikutilah jejaknya. Maka terjunlah aku ke dalam lautan api yang tak bertepi dan kutenggelamkan diriku kedalam tirai-tirai cahaya yang mengelilingi Muhammad Rasululah Saw. Dan kemudian tak kulihat diriku sendiri, yang kulihat Muhammad Rasulullah Saw. Aku terdampar dan kulihat Abu Yazid berkata,” aku adalah debu kaki Muhammad, maka aku akan mengikuti jejak beliau Saw. Suatu hari Abu Yazid berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Abu Yazid menyingkir kepinggir untuk memberi jalan kepada binatang itu. Salah seorang murid tidak menyetujui perbuatan Abu Yazid ini dan berkata,” Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Abu Yazid adalah “Raja diantara kaum mistik”, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing. Apakah pantas perbuatan seperti itu ?” Abu Yazid menjawab,” Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku, ‘Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja diantara para mistik?’. Begitulah yang sampai dalam pikiranku dan kerana itulah aku memberi jalan kepadanya”. Ada seorang pertapa di antara tokoh suci terkenal di Bustham yang mempunyai banyak pengikut dan pengagum, tetapi ia sendiri senantiasa mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Abu Yazid. Dengan tekun ia mendengarkan ceramah-ceramah Abu Yazid dan duduk bersama sahabat-sahabat beliau. Pada suatu hari berkatalah ia kepada Abu Yazid, “pada hari ini genap tiga puluh tahun lamanya aku berpuasa dan memanjatkan do’a sepanjang malam sehingga aku tidak pernah tidur. Namun pengetahuan yang engkau sampaikan ini belum pernah menyentuh hatiku. Walau demikian aku percaya kepada pengetahuan itu dan senang mendengarkan ceramah-ceramahmu”. Abu Yazid berkata “Walaupun engkau berpuasa siang malam selama tiga ratus tahun, sedikitpun dari ceramahku ini tidak akan dapat engkau hayati”. “Mengapa demikian ?”, tanya si murid. “Kerana matamu tertutup oleh dirimu sendiri”, jawab Abu Yazid. “Apakah yang harus kulakukan ?”, tanya si murid pula. “Jika kukatakan, pasti engkau tidak mahu menerimanya”, jawab Abu Yazid. “Akan kuterima !. Katakanlah kepadaku agar kulakukan seperti yang engkau petuakan”. “Baiklah!”, jawab Abu Yazid. “Sekarang ini juga, cukurlah janggut dan rambutmu. Tanggalkan pakaian yang sedang engkau kenakan dan gantilah dengan cawat yang terbuat dari bulu domba. Gantungkan sebungkus kacang dilehermu, kemudian pergilah ke tempat ramai. Kumpulkan anak-anak sebanyak mungkin dan katakan pada mereka,”Akan kuberikan sebutir kacang kepada setiap orang yang menampar kepalaku”. Dengan cara yang sama pergilah berkeliling kota, terutama sekali ke tempat dimana orang-orang sudah mengenalmu. Itulah yang harus engkau lakukan”. “Maha besar Allah! Tiada Tuhan kecuali Allah”, cetus si murid setelah mendengar kata-kata Abu Yazid itu. “Jika seorang kafir mengucapkan kata-kata itu niscaya ia menjadi seorang Muslim”, kata Abu Yazid. “Tetapi dengan mengucapkan kata-kata yang sama engkau telah mempersekutukan Allah”. “Mengapa begitu ?”, tanya si murid. “Kerana engkau merasa bahawa dirimu terlalu mulia untuk berbuat seperti yang telah kukatakan tadi. Kemudian engkau mencetuskan kata-kata tadi untuk menunjukkan bahawa engkau adalah seorang penting, dan bukan untuk memuliakan Allah. Dengan demikian bukankah engkau telah mempersekutukan Allah ?”. “Saranan-sarananmu tadi tidak dapat kulaksanakan. Berikanlah saranan yang lain”, si murid keberatan. “Hanya itu yang dapat kusarankan”, Abu Yazid menegaskan. “Aku tak sanggup melaksanakannya”, si murid mengulangi kata-katanya. “Bukankah telah aku katakan bahawa engkau tidak akan sanggup untuk melaksanakannya dan engkau tidak akan menuruti kata-kataku”, kata Abu Yazid. (Besi mesti dipanasi untuk dijadikan pedang, batu kotor mesti digosok supaya jadi berlian. “Gosoklah berlian imanmu dengan Laa illaha ilAllah”. ‘Jadidu Imanakum bi Laa illaha ilAllah’). “Engkau dapat berjalan di atas air”, orang-orang berkata kepada Abu Yazid. “Sepotong kayu pun dapat melakukan hal itu”, jawab Abu Yazid. “Engkau dapat terbang di angkasa”. “Seekor burung pun dapat melakukan itu”. “Engkau dapat pergi ke Ka’bah dalam satu malam”. ” Setiap orang sakti dapat melakukan perjalanan dari India ke Demavand dalam satu malam”. “Jika demikian apakah yang harus dilakukan oleh manusia-manusia sejati ?”, mereka bertanya kepada Abu Yazid. Abu Yazid menjawab, “Seorang manusia sejati tidak akan menautkan hatinya kepada selain Allah Swt. Sedemikian khusyuknya Abu Yazid dalam berbakti kepada Allah, sehingga setiap hari apabila ditegur oleh muridnya, yang senantiasa menyertainya selama 20 tahun, ia akan bertanya,” Anakku, siapakah namamu ?” Suatu ketika si murid berkata pada Abu Yazid,”Guru, apakah engkau memperolok-olokkanku. Telah 20 tahun aku mengabdi kepadamu, tetapi, setiap hari engkau menanyakan namaku”. “Anakku”, Abu Yazid menjawab,”aku tidak memperolok-olokkanmu. Tetapi nama-Nya telah memenuhi hatiku dan telah menyisihkan nama-nama yang lain. Setiap kali aku mendengar sebuah nama yang lain, segeralah nama itu terlupakan olehku”. Abu Yazid mengisahkan : Suatu hari ketika sedang duduk-duduk, datanglah sebuah fikiran ke dalam benakku bahawa aku adalah Syaikh dan tokoh suci zaman ini. Tetapi begitu hal itu terpikirkan olehku, aku segera sedar bahawa aku telah melakukan dosa besar. Aku lalu bangkit dan berangkat ke Khurazan. Di sebuah persinggahan aku berhenti dan bersumpah tidak akan meninggalkan tempat itu sebelum Allah mengutus seseorang untuk membukakan hatiku. Tiga hari tiga malam aku tinggal di persinggahan itu. Pada hari yang ke empat kulihat seseorang yang bermata satu dengan menunggang seekor unta sedang datang ke tempat persinggahan itu. Setelah mengamati dengan seksama, terlihat oleh ku tanda-tanda kesadaran Ilahi di dalam dirinya. Aku mengisyaratkan agar unta itu berhenti lalu unta itu segera menekukkan kaki-kaki depannya. Lelaki bermata satu itu memandangiku. “Sejauh ni engkau memanggilku”, katanya,” hanya untuk membukakan mata yang tertutup dan membukakan pintu yang terkunci serta untuk menenggelamkan penduduk Bustham bersama Abu Yazid?”"Aku jatuh lunglai. Kemudian aku bertanya kepada orang itu,”Dari manakah engkau datang?” “Sejak engkau bersumpah itu telah beribu-ribu batu yang kutempuh”, kemudian ia menambahkan,”berhati-hatilah Abu Yazid, Jagalah hatimu!”Setelah berkata demikian ia berpaling dariku dan meninggalkan tempat itu. Menolak mereka hanya kerana keingkaran mereka. Segala sesuatu yang kulakukan hanyalah debu. Kepada setiap perbuatanku yang tidak berkenan kepada-Mu limpahkanlah ampunan-Mu. Basuhlah debu keingkaran dari dalam diriku kerana akupun telah membasuh debu kelancangan kerana mengaku telah mematuhi-Mu. Kemudian Abu Yazid menghembuskan nafas terakhirnya dengan menyebut nama Allah pada tahun 261 H /874 M.

Makam Abu Yazid Al Busthami

Selasa, 2 Jun 2009

Syeikh Abdul Qadir Jilani


Sejarah ringkas
Syeikh Abdul Qadir Jilani.

Nama beliau dan keturunan sebelah ayah.
Mahyuddin Abu Muhammad Abdul Qadir Al Jilani bin Abu Saleh Musa bin Abdullah bin Yahya Al Jahid bin Al Imam Muhammad bin Al Imam Daud bin Al Imam Musa bin Al Imam Abdullah bin Al Imam Musa Al Jaun bin Al Imam Abdullah Al Mohd (lebih dikenali sebagai Al Majl) bin Al Imam Hassan alMuthni bin Al Imam Al Hassan Al Bast bin Al Imam AmirulMukmin ‘Ali bin Abu Talib, KarramAllahu wajhah.

Keturunan dari sebelah ibunya
Nama ibunya Fatimah binti Al Imam Abdullah bin Mahmud bin Kamaludin Isa bin Jamaluddin bin Al Imam Abdullah Al Sauma’i (lebih dikenali Al Zahid) bin Sayyidina Ali Zainal ‘Abidin bin Al Imam Al Hussein bin Al Imam ‘Ali bin Abu Talib, saudara Al Mustafa(s.a.w.) yang berkahwin dengan Fatimah Az Zahra Al Batul.
Beliau mendapat penggilan Al Jalani daripada Jilan, sebuah wilayah merdeka dari Negara Tabristan juga dikenali sebagai Kilan.

Abdul Qadir dilahirkan disini pada tahun 470H dan beliau kembali kerahmatullah pada 671H pada malam Sabtu , 10 Rabi’awal pada umur 91 tahun. Beliau dimakamkan diserambi madrasahnya. Nasaruddin mengkebumikan beliau pada paginya sambil membacakan Qasidah yang berbunyi “ Kesedihan (merujuk kepada kematian) pada pagi ini merupakan kekalahan Jilani, dimana beliau merupakan sumber makrifah yang terkenal”
Penampilan Abdul Qadir.

Al Imam Muwafik Al Din Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al Muqaddisi berkata, “Shaykh Al Islam Al Shaykh Mahyuddin Abu Muhammad Abdul Qadir alJilani r.a. Merupakan seorang yang kurus dan tinggi dan berupa baik dengan bulu keningnya bercantum. Suara beliau nyaring dan beliau berpengetahuan luas.
Rumah yang dimana beliau dibesarkan dikenali sebagai Rumah Kemuliaan dan Pengetahuan. Ini kerana keturunan beliau dari ayah dan ibunya merupakan golongan yang berilmu dan berkedudukan. Penduduk setempat juga menggelarkan rumah tersebut rumah yang mulia.

Tidak salah jika Abd Qadir dibesarkan sejak kecil disitu dan menghafal Al Quran sejak kecil dan sehinggalah pada umur beliau 18 tahun, beliau mula merantau ke Baghdad pada tahun 488H. Pemergian beliau adalah untuk menambahkan ilmu beliau pada jalan Allah seperti yang difimankan Allah dlm surah Nisa ayat 100.
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Abdul Qadir mengikut jejak langkah keturunannya yang juga dikenali sebagai keluarga Ilmuwan dan beiman demi mencapai cita-citanya menjadi seorang yang adil dan mulia disisi Allah dan Umat Islam.
Allah berfirman: Surah At Thur ayat 21:
Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka[1426], dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.

Abdul Qadir merupakan seorang insane yang terpelihara oleh Allah. Ini dapat dibuktikan dari cerita masyarakat sekeliling. Semasa muda beliau berkerja sebagai petani. Pada suatu hari, semasa beliau sedang membajak tanah menggunakan seekor lembu, tiba-tiba lembut tersebut memalingkan mukanya kearah beliau dan berkata ”Oh Abdul Qadir, Allah tidak menciptakan kamu untuk kerja ini”
Dari sumber yang lain pula menyatakan, Abdul Qadir memanjat keatas atap rumahnya dan melihat fenomena luar biasa iaitu jemaah Haji berkumpul di Arafah, dan jemaah lagi satu pula sedang mengelilingi Ka’abah.
Kedua-dua kejadian itu membuatkan beliau berasa takut dan terkejut. Beliau memberitahu pada ibunya dan ibunya berkata “ Ini membuktikan bahawa Allah telah memilih mu untuk diberi pengetahuan”

Selepas kejadian tersebut Abdul Qadir berhasrat untuk ke Baghdad dengan tujuan untuk mendalami lagi ilmu pengetahuan dengan para-para Ulama disana. Ini kerana pada ketika itu Baghdad merupakan pusat Ilmu dunia.
Sebelum berangkat ke Baghdad, Abdul Qadir meminta kebenaran dari ibunya agar Allah sentiasa disampingnya dalam usahanya. Ibunya menjaminkan beliau akan keselamatan dengan syarat beliau hendaklah sentiasa bercakap benar dan tidak sesekali menipu.
Dan dalam perjalanan beliau ke Baghdad, sekumpulan perompak telah datang kepada beliau, dan menanyakan kepada beliau, berapa wang yang Abdul Qadir ada. Abdul Qadir menjawab dengan jujur seperti mana yang telah dinasihatkan oleh ibunya. Beliau menyatakan jumlah wang yang ada didalam poketnya. Akibat dari kejujurannya itu, perompak berkenaan berasa sedih dan bertaubat atas perbuatannya itu. Perompak itu bertanya pada Abdul Qadir, mengapa beliau berkata benar sedangkan beliau tahu akan dirompak. Lalu Abdul Qadir menceritakan halnya bersama ibunya yang beliau telah berjanji atas nama Allah pada ibunya yang beliau akan bercakap benar dan jujur. Perompak tersebut merasa hairan dan takjub atas kejujuran Abdul Qadir menjaga janjinya dengan usianya yang semuda itu, manakala perompak itu memikirkan hal dirinya yang telah sekian lama hidup merompak dan bercanggah dengan Islam.
Firman Allah Surah At Taubah ayat 119:
Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.
Abdul Qadir meneruskan perjalannannya dan sampai di Baghdad pada tahun 488H dan memulakan pengajian beliau dengan ulama-ulama dan orang-orang saleh.
Kesimpulannya

Syaikh Abdul Qadir Jilani dibesarkan dengan baik. Beliau merupaka seorang yang alim, jujur, ikhlas dan benar. Kesemua nilai-nilai ini menjadi simbol kepada Tareqat Qadariah yang terus menerus berkembang hasil usaha dari pengesasnya iaitu Syaikh Abdul Qadir Jilani dan tareqat ini berdasarkan pengalaman peribadi beliau tentang Islam, Iman, dan Ihsan. Ini akan mengajar kita tentang Ikhlas, Wara’ , Zuhud, Taqwa, penyerahan diri sendiri, ketabahan, kehambaan kepada Allah, mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhkan diri dari syaitan, menghayati kitab syariah, membersihkan hati daripada perkara yang memusnahkannya, membersihkan kata-kata, sentiasa membuat suruhan Allah atas sebab untuk mencari keredhaannya, bersungguh-sungguh dalam menentang kehendak nafsu, dan mengamalkan perbuatan yang mulia.
Kesemua cara ini disuruh oleh Abdul Qadir, dimana beliau adalah pendokong jalan Tasawuf yang bermakna juga beliau merupakan seorang pengajar. Didalam kitabnya, Abdul Qadir menggunakan perubahan dalam menyampaikan perbezaan hamba dan kehendak nafsu.

Makam Syeikh Abdul Qadir Jilani